Gadis Sendu episode sebelas

9 komentar
Klik di sini untuk mengingat episode yang lalu..


10 tahun lalu..
Sendirian... tubuh kecilku menggigil di balik tembok besar kusam bersama sepeda mini dengan keranjang depan penuh dengan ilalang. Aku sedang tidak berlindung dari lebatnya hujan yang mengguyur sejak sore tadi karena kenyataannya memang aku suka hujan. Keempat temanku mungkin telah berada di pangkuan masing-masing ibu mereka, menyeduh teh di dalam rumah hangatnya. Sedang aku? Aku masih terlalu ciut untuk melewati segerombolan kakak kelas yang terhuyung-huyung lima ratus meter di depanku, mereka berteriak semakin tak jelas ditelan suara hujan. Aku masih waras untuk menilai bahwa botol meneral di tangan mereka bukanlah sesuatu yang murni, aku tak tahu pasti, mencekam dan membuatku ngeri.
Gelap sudah sekitarku, mereka tidak juga beranjak. Minuman itu telah membuat mereka kebal akan hujan, tak membuat kulit mereka keriput berlama-lama di bawah deras air langit.
Semakin beradu pendapat dengan hati dan logika, ibu sudah pasti cemas menanti kehadirannku. Jarak rumah tinggal 800 meter lagi salahkan mereka yang menghalangi pulangku, ibu... aku takut.
Aku sudah bersiap di atas sepeda meyakinkan diri untuk melaju, semoga hujan membantuku mengalihkan perhatian mereka. Mengayuh dengan sisa tenaga yang ada, merasakan udara dingin yang menusuk tulang juga menepis ketakutan dari dalam jiwa. Ibu... tunggu aku.
Gubraakkk....
Ilalangku sudah berhamburan di atas jalan, nyeri pada sisi kanan tubuhku yang menempel tanah dan kusadari sepedaku berada di atas tubuhku. Terakhir kuingat aku tak menggubris saat salah satu dari mereka memaksaku berhenti, ketika aku tak menyetujuinya yang lain mendorong sepedaku.
Terdengar tawa seram dari mereka yang melihatku terjerembab, mengelilingiku. Gigiku gemeretak menahan dingin yang seolah membekukan segalanya, juga rasa simpati mereka. Hingga seseorang menyeruak membelah barisan dan berdiri di hadapanku.
Dia mengedarkan pandangan kepada satu persatu temannya, menunjukku dan berteriak, “Ini anak Pak RT, jangan macam-macam kalian. Biarkan dia pulang.”
Timbul dengungan yang menyatakan ketidaksetujuan namun tak ada bantahan. Aku berdiri sendiri, kembali mengayuh sepeda dan melaju dengan kekuatan penuh tanpa menoleh kebelakang. Rasa legaku belum diijinkan sebab dibawah pohon beringin besar tak jauh dari tempatku kini lelaki yang menolongku berdiri seorang diri. Bagaimana bisa dia berada disitu? Adakah jalan lain untuk mendahuluiku? Yang terpenting mau apa dia disana?
Gelisah, ragu, bimbang bercampur bersama letih yang mendera. Tak mungkin kembali kebelakang dengan gerombolan mahkluk yang mengerikan itu, namun tak ada keyakinan untuk maju mendekati sosok yang tak juga kukenali.
Mulutku merapalkan segala macam doa yang telah diajarkan ibu, mengesampingkan makna sebenarnya, biarsaja.. kata ibu doa adalah senjata dan sekarang aku butuh senjata. Aneh, wajah anak lelaki itu tetap menunduk dan membiarkan diriku lewat begitu saja.
Bolehlah sekarang aku lega, oh tidak.. belum... dia berjalan cepat, mengikutiku. Kukayuh dengan kekuatan penuh untuk segera sampai kerumah, atap rumah yang mulai terlihat menumbuhkan harapan yang sedari tadi terbang entah kemana. Jika aku cepat dia akan berlari, saat aku melambat, dia hanya akan berjalan.
Jarak untuk mencapai rumah tinggal sebentar lagi, kegiatan menengok kebelakang berulang-ulang memecahkan fokusku hingga tak sadar dengan kondisi jalan yang licin.
Gedebukkk...
Kali ini sepedaku tidak lagi mendarat di atas tubuhku, jelas karena aku terpelanting. Hilang sudah semua harapanku, kembali ketakutan menguasai, tapi anak lelaki itu terdiam tak mendekat untuk menolongku atau melaksanakan entah apapun niatnya. Kuabaikan rasa nyeri disekujur tubuh untuk kemudian kembali mengayuh sepeda penuh lumpur. Dia berjalan lagi.
Kubanting sepeda dipelataran rumah, menghambur kedalam dan memeluk ibu yang sejak tadi menanti kepulanganku.
Anak lelaki itu mendekati sepedaku, meletakkan ilalang di tempat awalnya dan berlalu.
Siapa dia?


Bersambung....
 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

9 komentar

Posting Komentar